Kalau sempat beranjangsana ke Markas Komando Yonif 733/Raider di kawasan Desa Waiheru, Teluk Baguala, Kota Ambon, Anda akan mendapati banyak sekali anakan pohon, mulai dari yang umum hingga langka.
Terletak di sisi kiri lobi, di sana Anda bisa temukan aneka jenis tanaman, mulai dari jenis pohon keras semacam pule, samama, dan palaka yang langka hingga penghasil buah gandaria dan jeruk Kisar khas Maluku.
Kesibukan atau bisa juga disebut kegemaran baru di kalangan prajurit TNI di Maluku ini dalam membudidaya tanaman "sangat boleh jadi" tumbuh ketika Mayjen Doni Monardo dipercaya sebagai Panglima Kodam XVI/Pattimura.
Dikenal lama sebagai sahabat alam dan pencinta lingkungan hidup, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) kelahiran Cimahi, Jawa Barat, itu memang berniat membangun perekonomian masyarakat Maluku dengan segenap kemampuan yang dia punya.
Kegemaran meninjau daerah membuat Doni Monardo mengetahui banyak potensi alam yang bisa dikembangkan bagi kemakmuran rakyat.
Di Maluku, ia mengaku terheran-heran mendapati kesuburan tanah "negeri raja-raja" yang menjadi tempat tumbuh berbagai jenis tanaman, tetapi tidak dikelola dengan baik.
"Luar biasa, segala macam pohon tumbuh di daerah ini. Sayang kalau tidak dikelola demi pertumbuhan ekonomi masyarakat," katanya.
Karena itu, program budi daya tanaman akan dilakukan di berbagai pos tentara dan wilayah-wilayah perdesaan dengan melibatkan warga masyarakat.
Kodam XVI/Pattimura pun menjalin kerja sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah dan perbankan untuk mendatangkan bibit tanaman maupun tenaga penyuluh.
Sejak 2015, sedikitnya sudah 200.000 bibit tanaman didatangkan ke Maluku.
Emas Biru dan Emas Hijau
Dari hasil survey yang dilakukan, Doni Monardo mengatakan Maluku memiliki kekayaan alam yang besar sekali. Ia menyebutnya emas biru dan emas hijau.
Emas biru merujuk pada potensi kekayaan laut sedangkan emas hijau dimaksudkan sebagai kekayaan daratan, terutama tumbuh-tumbuhan.
Tujuan mulia dari program pengembangan "emas khas Maluku" itu sendiri selain untuk memberdayakan potensi alam demi kesejahteraan masyarakat, juga merajut kerukunan "orang basudara" yang acap kali berbenturan demi alasan-alasan yang tidak jelas.
"Ide utamanya memang itu. Masyarakat di daerah ini harus didorong untuk bekerja ketimbang berkelahi," katanya.
Salah satu program merajut kerukunan itu sudah diterapkan pada masyarakat Desa Mamala dan Desa Morela. Dengan bantuan dan bimbingan prajurit serta tenaga ahli yang didatangkan, para pemuda dari dua desa itu didesain untuk hidup satu atap, tidur bersisian secara seling-seling, makan satu meja, dan secara bersama-sama mengerjakan proyek penanaman pohon samama.
Pohon samama atau jabon merah memang tumbuh subur di daerah dua desa bertetangga tersebut, tetapi mereka tidak tahu bagaimana merawat dan mengembangkannya.
Menurut Doni, pohon samama merupakan bahan baku yang bagus untuk industri kayu lapis (playwood). Jika bisa dikembangkan secara besar-besaran, kemungkinan akan ada pengusaha yang mau tanam modal di daerah ini untuk membuka pabrik.
Kalau hal itu terjadi, masyarakat penanam samama pun akan untung karena pohon yang mereka rawat bisa dijual. Hadirnya industri kayu lapis di daerah ini pun akan memberikan manfaat ganda yang menyerap banyak sekali tenaga kerja, baik di pabrik maupun di bidang usaha ikutan seperti rumah makan, binatu, jasa transportasi, dan sebagainya.
Penanaman samama di Mamala dan Morela adalah proyek percontohan. Di tempat lain dengan potensi alam berbeda pun akan digarap menjadi industri rakyat.
"Kita punya jeruk Kisar, kita punya gandaria, kita juga punya pisang Ambon (pisang meja). Salak, durian, duku, langsat, kelapa, dan berbagai jenis buah-buahan lain. Ini harus dikelola dengan baik, kalau tidak semua terbuang percuma," katanya.
Doni percaya, bila semua warga masyarakat di Maluku memahami potensi alamnya yang luar biasa dan mau mengembangkan dan merawatnya, maka hasilnya adalah kemakmuran.
Rakyat yang cukup sandang, pangan, papan dan pendidikan tentu tidak akan mau berkelahi atau melakukan tindakan-tindakan merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Bawa "Bubu"
"Kalau ke daerah, jangan bawa senjata, cukup bawa bubu!" kalimat instruksi ini sekarang sangat populer di kalangan prajurit Kodam XVI/Pattimura.
Bubu adalah perangkap ikan terbuat dari anyaman bambu atau rotan. Alat yang biasa digunakan masyarakat nelayan tradisional itu sekarang sedang digalakkan penggunaannya sebagai program "emas biru".
Menurut Kepala Penerangan Kodam XVI/Pattimura, Kolonel Arh M Hasyim Lalhakim, sarana alat penangkap ikan itu telah dikenal masyarakat nelayan sejak ratusan tahun lalu, dan Kodam kini sedang berupaya untuk menggalakkan penggunaannya.
Bubu dinilai sangat efektif dan ekonomis untuk mendapatkan ikan-ikan dalam keadaan hidup yang berkualitas tinggi, baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat maupun dijadikan bahan pakan ikan, serta menjadikan indukan bertelur.
Ide penggunaan bubu diperoleh dari masyarakat Desa Asilulu, sebuah negeri di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon, Maluku Tengah, yang sebagian besar berprofesi nelayan dan telah menggunakan alat itu secara tumurun sejak zaman dahulu.
Saat kunjungan ke desa tersebut, Pangdam Doni melihat dari dekat bagaimana proses pengangkatan bubu dari dalam laut, setelah selama tiga hari terapung pada kedalaman tertentu untuk memerangkap ikan.
Dari tinjauan yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa satu bubu bisa mengasilkan tangkapan ikan seharga Rp500.000 hingga Rp600.000 sekali angkat.
Menurut Pangdam, biaya pembuatan dan penggunaan kapal penangkap ikan sangat mahal, tidak cocok untuk nelayan tradisional. Karena itu penggunaan bubu sangat efektif dan efisien, apalagi laut Maluku sangat kaya akan ikan, udang, dan biota lainnya, baik di laut dalam maupun di wilayah pesisir.
"Kalau pakai kapal itu sudah ukuran pengusaha. Nelayan tradisional cukup dengan bubu. Biaya pembuatannya tidak mahal tetapi bisa menghasilkan ikan bernilai tinggi," katanya.
Upaya promosi penggunaan bubu yang tidak mencemari lingkungan juga bertujuan menghilangkan praktik penggunaan bom ikan yang masih marak dilakukan oknum-oknum nelayan yang tidak bertanggung jawab.
Pastinya, promosi penggunaan bubu akan terus dilakukan, apalagi keramba jaring apung maupun keramba tancap juga telah tersebar di berbagai wilayah perairan Maluku.
Dengan adanya program emas biru dan emas hijau, Panglima Doni kelihatannya ingin mengubah wajah garang tentara menjadi sangat bersahabat dengan masyarakat.
"Di zaman perang, tentara itu harus jadi alat yang mematikan musuh. Di zaman damai, dia harus jadi alat untuk menyejahterakan masyarakat," katanya.
Mengubah Wajah Garang Tentara
Senin, 29 Februari 2016 11:46 WIB
Di zaman perang, tentara itu harus jadi alat yang mematikan musuh. Di zaman damai, dia harus jadi alat untuk menyejahterakan masyarakat